Salam, hai..terima kasih sudah mau membaca tulisan saya. Sebelumnya saya telah menulis yang berjudul Problem Komunikasi Berujung Aksi dapat kalian lihat disini. Selanjutnya saya akan menulis tentang fenomena yang saya rasakan akhir-akhir ini tentang pernikahan, selamat membaca.
Musim nikah,
itulah yang aneh sekaligus lucu saya rasa. Bagaimana tidak, dalam bulan ini ada
4 acara pengantin/pernikahan yang harus saya datangi. Belum lagi bulan depan, sudah ada
satu yang masuk list agenda di kalender. Bukan risih sih, malah saya senang
sekali karena itu berarti banyak saudara-saudara saya yang menikah sekaligus
kami sama-sama berpahala karena telah mengundang dan menunaikan undangan. Saya tidak
tahu, apakah kalian juga mengalaminya ataukah di daerah-daerah lain pun
mengalami. Yang jelas saya ingin membahasnya pada kesempatan ini. Yukk simak
terus kisah saya.
Fenomena nikah
sering sekali dikaitkan dengan hal-hal yang aneh-aneh. Saya lebih suka
menyebutkan dengan istilah itu. Mulai dari Panai’
istilah lokal orang Bugis-Makassar yang artinya mahar, terutama persoalan Pammali yaitu
istilah lokal orang Suku Bugis-Makassar sebagai bentuk larangan atau
pantangan. Kenapa? Karena pernikahan adalah kegiatan suci yang sangat sakral.
Tidak hanya menyangkut kedua mempelai tetapi maknanya sangat luas,
mempertemukan kedua keluarga besar kedua mempelai. Saya juga baru mengetahui
hal ini setelah saya menikah, padahal sebelumnya saya sama sekali tidak
mengetahui se-sakral dan sekomplik itu jika mempersiapkan pernikahan, tentu
slam hal ini menyangkut dari proses pelamaran hingga pernikahan. Di Makassar
tempat saya lahir dan dibesarkan memiliki ciri khas tersendiri dalam
menyelenggarakan prosesi pernikahan. Sudah banyak sekali ahli dan peneliti yang
telah melakukan riset/penelitian terkait pernikahan pada orang Bugis dan
Makassar. Kenapa mereka tertarik dengan hal tersebut. Marik kita ulas
bersama-sama.
Hal aneh yang
pertama adalah prosesi pernikahan orang Bugis-Makassar sering sekali
diselenggarakan pada saat setelah dan sebelum bulan ramadhan. Biasanya sebulan
bahkan pernah saya mendapatkan undangan dua minggu setelah bulan ramadhan,
namun hanya sekali-kali saja. Tetapi beberapa kali saya mendapatkan undangan
seminggu sebelum memasuki bulan ramadhan. Namun, memang umunya saya amati sebulan
setelah bulan ramadhan banyak melangsungkan prosesi pernikahan. Kenapa yah,
apakah karena mereka dominan beragama Islam ataukah karena tradisi.
Ada juga berbagai
ritual yang syarat dengan nilai-nilai Islam seperti prosesi peminangan yang
hampir mirip dengan prosesi khitbah dalam ajaran Agama Islam. Prosesi ini
mereka sebut dengan istilah lokal Ma’manu-manu.
Selain itu ada juga melantunkan ayat-ayat suci al-quran malam sehari sebelum
prosesi akad nikah. Mereka sering menyebutnya dengan istilah lokal Ma’barasanji.
Namun ada satu
yang berbeda dengan ajaran Agama Islam, bahkan sangat menonjol yaitu menyangkut
soal sejumlah uang dari mempelai pria yang akan diberikan kepada mempelai
wanita yang akan dipinang. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung tingginya dan
semakin kesini semakin banyak jumlahnya. Jumlah tersebut sangat bertentang
dengan Agama Islam yang mensyaratkan dengan serba sederhana dan tidak
mempersulit kedua mempelai. Namun saya tidak akan membahas hal itu lebih
lanjut, hanya memaparkan pengamatan yang saya rasakan menyangkut soal
pernikahan Bugis-Makassar karena hal tersebut dibahas pada persoalan lain.
Berkat fenomena
yang saya rasakan saat ini, lebih tepatnya kaget dengan undangan yang datang
bertubi-tubi secara bergantian, mendorong saya untuk menulis membuat saya membaca
kembali soal sejarah yang berkaitan dengan
nikahan orang Bugis-Makassar. Ternyata hasil bacaan saya menunjukkan bahwa pada
tahun 1611 M yang bertepatan dengan 20 Ramadhan 1020 H (23 November) Raja Bone
ke-12 yang bernama La Tenri Pale Arung
(dikelari To Akkapeang) mengalami
kekalahan melawan Kerajaan Gowa-Tallo. Katanya perang kedua kerajaan dilakukan
atas dasar Agama Islam. Pada saat mengalami kekalahan, Raja Bone memeluk Islam
selanjutnya mengikuti para rakyatnya. Dengan demikian pergumulan budaya (Pangadereng) dan syariah Islam di dataran
Sulawesi Selatan dengan pergulatan sistem sosial masyarakat dan politik
kekuasaan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Bone. Itulah sepintas sejarah
masuknya Agama Islam yang mempengaruhi kebiasaan (tradisi) masyarakat
Bugis-Makassar termasuk dalam prosesi pernikahan.
Demikianlah tulisan
saya kali ini, kalian dapat membaca artikel lainnya seperti Budaya Uang Panai Pada Pernikahan Gadis Bugis dapat kalian lihat disini
Terima kasih telah membaca, semoga kalian tidak bosan dan selalu membaca tulisan-tulisan saya. Referensinya kalian cari sendiri yah dengan banyak membaca karena semuanya tidaklah mudah, butuh perjuangan agar ilmu itu sampai.